Stroberi merupakan salah satu buah yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Tanaman stroberi ini banyak diusahakan secara komersil oleh petani Indonesia, khususnya petani di dataran tinggi karena tanaman ini berasal dari daerah subtropika. Perkembangan usaha budidaya tanaman stroberi di Indonesia sangat pesat. Beberapa daerah sentral produksi stroberi di Indonesia adalah Jawa Barat (Ciwidey, Garut dan Lembang), Jawa Timur (Batu, Pasuruan, Bondowoso dan Magetan), Jawa Tengah (Purbalingga, Karanganyer dan Magelang), Bali yaitu daerah Bedugul, Sumatra Utara yaitu daerah Berastagi, Sumatra Selatan yaitu daerah Banteang, dan Nusa Tenggara Timur (NTT) (Hanif & Hasyim, 2012).
Volume
produksi stroberi tiap tahun mengalami peningkatan. Menurut Badan Pusat
Statistik (2012) volume produksi stroberi tahun 2011 sebesar 41.035 ton
meningkat 68% dari tahun 2010 yang hanya
24.846 ton. Peningkatan produksi ini sebanding dengan permintaan akan buah
stroberi yang makin meningkat tiap tahunnya. Produksi stroberi dalam negeri
belum mampu menutupi permintaan pasar yang tinggi sehingga pada tahun 2011
terdapat peningkatan impor stroberi sebesar 24,7%, yaitu dari 452 ton menjadi
564 ton. (BPS, 2012).
Namun
demikian, produksi stroberi di Indonesia masih sangat rendah. Produktivitas
tanaman stroberi Indonesia rata-rata hanya 6-7 ton/ha/tahun sedangkan
produktivitas stroberi menurut literatur mampu mencapai 57 ton/Ha/tahun.
(Aswita, 2007; Hanif & Hasyim, 2012). Salah satu sebabnya adalah adanya
serangan organisme pangganggu tumbuhan (OPT) yang menginfeksi tanaman stroberi
terutama virus. Virus yang menginfeksi tanaman dapat mempengaruhi proses
fotosintesis karena daun yang terinfeksi virus dapat menunjukan perubahan
bentuk, ukuran dan menurunkan kandungan klorofil total daun sehingga hasil
produksi tanaman tidak maksimal (Akin, 2006).
Di Eropa,
virus yang menginfeksi stroberi dapat menurunkan produksi antara 30-80%
(Thompson & W. Jelkmann, 2003). Sampai saat ini virus yang menginfeksi
tanaman stroberi ada sekitar 30 jenis virus (Martin & Tzanetakis, 2006).
Virus yang paling berpotensi dalam penurunan hasil produksi adalah Strawberry crinkle virus (SCV) (Biswas et al, 2007; Martin & Tzanetakis, 2006).
SCV dapat menurunkan hasil sangat tinggi jika Strawberry
mottle virus (SMV) dan Strawberry mild
yellow-edge virus (SMYEV) bersamaan menginfeksi tanaman stroberi yang di
budidayakan (Frazier et al., 1987).
Vektor
dari SCV adalah aphid dari genus Chaetosiphon yaitu spesies Chaetosiphon fragaefolii dan Chaetosiphon jacobi yang penyebarannya sangat
luas di daerah Eropa dan Asia (Frazier et al.,
1988). C. fragaefolii sudah ada di
Indonesia walaupun belum diketahui awal mulanya aphid ini masuk ke negara
Indonesia. Keberadaan C. fragaefolii
diketahui ada di pertanaman stroberi di daerah malang dan kabupaten Karo
(Dwipayana, 2006; Aswita, 2007).
Keberadaan
SCV di Indonesia masih masuk daftar golongan A1 yang berarti virus tersebut
belum masuk ke Negara Indonesia. SCV sangat diwaspadai oleh Badan Karantina
Pertanian karena media pembawanya yang banyak yaitu dapat melalui bunga, buah,
dan bibit tanaman (Suwanda, 2009). Walaupun virus ini masih golongan A1 tetapi
beberapa gejala yang mirip dengan infeksi SCV
sudah tampak pada pertanaman stroberi yang dibudidayakan di daerah Jawa
Barat (Anonim, 2008).
1 komentar:
Ini daftar pustaka nya kenapa tidak dicantumkan ?
Posting Komentar