Tulisan ini memandang bahwa periode Islam kontemporer dimulai sejak
paruh kedua abad ke-20, yaitu sejak berakhirnya Perang Dunia II sampai
sekarang. Periode Islam kontemporer ini ditandai oleh dua peristiwa
utama. Pertama, dekolonisasi negara-negara Muslim dari cengkraman
kolonialisme Eropa. Kedua, gelombang migrasi Muslim ke negara-negara
Barat. Dua peristiwa itu telah mengubah lanskap geografi dunia Muslim.
Apa yang disebut dunia Muslim tidak lagi identik dengan dunia Arab,
tetapi meliputi berbagai negara nasional yang tersebar di hampir seluruh
penjuru dunia, merentang dari mulai Afrika Utara hingga Asia Tenggara.
Selain itu, sejak itu pula kaum Muslim telah menjadi bagian dari
demografi negara-negara Barat.
Akan tetapi, pada dekade-dekade awal pasca Perang Dunia II, Islam
belum menjadi subjek penting dalam politik global. Isu utama pada masa
itu adalah Perang Dingin antara Blok Barat yang dipimpin Amerika Serikat
dengan jargon liberalismenya dan Blok Timur yang dipimpin oleh Uni
Soviet dengan jargon komunismenya. Pertarungan ideologi antara kedua
blok tersebut menjadi latar belakang hampir semua peristiwa politik
ekonomi internasional. Dalam hal ini, posisi negara-negara Non-Blok, di
mana Indonesia dan beberapa negara Muslim lain termasuk di dalamnya,
cukup terjepit dan dalam kenyataannya hanya menjadi objek rebutan
pengaruh negara-negara adidaya.
Dekolonisasi negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim dari
cengkraman kolonialisme Eropa telah menghadapkan Islam dan kaum Muslim
pada suatu realitas baru, yaitu negara-bangsa modern. Persis pada titik
ini, klaim-klaim keagamaan Islam yang universal mau tak mau harus
bekerja pada ranah partikular. Negara-bangsa modern secara normatif
selalu mengandaikan adanya ikatan kewarganegaraan yang terbatas.
Hubungan antara warga negara atau individu dan negara diikat oleh suatu
komitmen yang sampai tingkat tertentu bersifat sekuler. Negara-bangsa
modern mentransendensikan warganya dari tempurung identitas-identitas
etnik, agama, dan jenis-jenis komunalisme lainnya ke dalam wadah besar
bernama bangsa. Proses transendensi tersebut tidak pernah mudah, bahkan
di banyak tempat terjadi kekerasan yang berdarah-darah. Salah satu
penyebabnya adalah watak dari negara-bangsa modern itu sendiri
yang—dalam perspektif Weber—diberi legitimasi untuk menggunakan
kekerasan demi keutuhan teritorialnya.
Dalam konteks negara-bangsa modern, Islam adalah satu dari sekian
banyak ideologi politik yang bertarung memperebutkan tempat dan pengaruh
dalam formasi negara dan struktur pemerintahan. Dengan kata lain, Islam
dalam politik berubah dari identitas sakral menjadi identitas profan.
Oleh karena itu, keberadaan partai Islam tidak otomatis mendapatkan
dukungan penuh dari kaum Muslim. Kepedulian utama dalam politik
negara-bangsa modern adalah pengelolaan ruang publik yang sekuler, bukan
kepasrahan terhadap Tuhan. Kaum Muslim terlibat dalam berbagai partai
politik dan gerakan sosial dengan ideologi beragam: liberal, sosialis,
hingga komunis. Partai-partai Islam di negara-negara Muslim justru tidak
mendapat suara signifikan. Di Indonesia, pada Pemilihan Umum 1955,
partai-partai Islam seperti Masyumi dan Nahdlatul Ulama harus berbagi
tempat dengan partai nasionalis dan komunis. Di Turki, yang terjadi
adalah sebaliknya. Setelah puluhan tahun dikuasai oleh rezim
pemerintahan sekuler dengan latar belakang ideologi Kemalis yang kuat, Adalet ve Kalkmma Partisi (AKP) yang bercorak Islamis sejak 2002 memenangkan pemilihan umum dan memimpin pemerintahan (Hadiz, 2011)
Sementara sebagian Muslim bergiat dalam berbagai aktivitas di tanah
airnya masing-masing, sebagian yang lain justru berimigrasi ke
negara-negara Barat untuk mencari kehidupan yang lebih baik (Anna
Triandafllidou, Tariq Modood, dan Ricard Zapata-Barrero, 2006). Latar
belakangnya, baik apa yang disebut faktor pendorong maupun penarik dalam
teori migrasi klasik, umumnya adalah ekonomi. Pada masa itu,
negara-negara Eropa Barat seperti Jerman dan Belanda baru saja bangkit
dari puing-puing kehancuran dalam Perang Dunia II. Namun dalam waktu
singkat negara-negara tersebut bangkit kembali dengan tingkat
pertumbuhan ekonomi yang mengagumkan. Pabrik-pabrik baru dibangun,
pabrik-pabrik lama direnovasi. Untuk mengisi lowongan pekerjaan pada
pabrik-pabrik itu, didatangkanlah ribuan kaum pekerja. Sebagian besar
mereka berasal dari negara-negara Muslim, seperti Turki dan Maroko. Di
Inggris dan Perancis, sebagian besar kaum migran juga berasal dari
negara-negara Muslim bekas koloni mereka; orang-orang Aljazair di
Perancis, orang-orang India dan Pakistan di Inggris. Dalam
perkembangannya, para pekerja migran yang umumnya laki-laki tersebut
membawa serta keluarga mereka. Populasi kaum Muslim di di negara-negara
Barat tersebut meningkat jumlahnya hingga sekarang.
Selanjutnya, setelah Uni Soviet runtuh pada 1989, yang diikuti oleh
‘gelombang demokratisasi ketiga’ di negara-negara satelitnya, percaturan
global mengalami perubahan sangat signifikan, termasuk dalam isu Islam.
Sebelumnya, tepatnya pada 1979, sebuah revolusi yang dipimpin para
Khomaini berhasil menumbangkan rezim Syah yang sekuler di Iran.
Peristiwa yang dikenal dengan Revolusi Islam Iran tersebut membawa
implikasi penting baik terhadap dunia Islam secara internal maupun
terhadap konsetelasi politik internasional. Secara internal, revolusi
tersebut mengeraskan rivalitas klasik antara Sunni-Syiah. Arab Saudi,
dengan karakter Wahabisme yang keras, semakin tampil sebagai penjaga
ortodoksi Sunni penjaga kota suci Haramain (Makkah dan Madinah).
Persaingan antara Arab Saudi dan Iran dalam memperebutkan pengaruh di
dunia Islam tak terhindarkan. Pada saat yang sama, Amerika Serikat masuk
ke dalam peta persaingan baru tersebut dengan membawa kepentingan
ideologi dan politik ekonominya sendiri. Di tempat lain, yaitu di
Afghanistan, berakhirnya Perang Dingin mengakibatkan apa yang oleh
beberapa pengamat Barat disebut ‘globalisasi Jihad’. Para eksponen
mujahidin yang sebelumnya bertempur melawan invasi Uni Soviet akhirnya
membubarkan diri. Sebagian mereka berasal dari negara-negara Muslim di
Asia Tenggara, seperti Indonesia dan Malaysia. Setelah Perang selesai,
mereka pulang kampung, tetapi dari sini lahirkan satu jaringan Islamisme
berskala global. Keberadaan mereka tentu saja menambah kompleksitas
Tragedi 11 Septermber 2001 adalah peristiwa yang secara dramatik
membuka babak baru hubungan Islam dan Barat. Bagi kalangan
neo-konservatif yang berdiri di belakang pemerintahan Bush Jr. di
Amerika Serikat, peristiwa itu seolah menjustifikasi pandangan mereka
bahwa Islam memang tidak kompatibel dengan nilai-nilai Barat. Sejak
peristiwa itulah Islam menjadi subjek penting dalam politik global.
Sementara itu, di negara-negara Muslim, demokratisasi semakin menjadi
kata kunci dalam politik, sehingga bahkan pemerintahan paling otoriter
sekalipun mengaku sebagai negara demokratik. Pada akhir 1990-an, rezim
Orde Baru di bawah pimpinan Jenderal Soeharto di Indonesia jatuh dari
kekuasaanyan, mengantarkan Indonesia tampil sebagai negara demokratik
Muslim terbesar di dunia. Yang paling mencengangkan dan masih
berlangsung sampai sekarang, dengan korban jiwa sudah mencapai ribuan
orang, adalah gelombang reformasi di negara-negara Arab. Setelah
tumbangnya Husni Mubarak dari kursi kepresidenan di Mesir, tuntutan
perubahan politik menerjang hampir semua rezim pemerintahan di Timur
Tengah. Bahkan, negara paling konservatif seperti Arab Saudi pun mencoba
membuka diri terhadap tuntutan serupa. Singkatnya, dunia Islam
kontemporer adalah bagian dari dunia yang sedang berubah dengan sangat
cepat, melibatkan tidak hanya aspek meterial tetapi juga ideologi.
0 komentar:
Posting Komentar