Kamis, 04 April 2013

Menjamah Zona Merah (Cililin Bagian 3)



27 Maret 2013
Suasana pagi yang sunyi. Tanpa kicau burung greja atau merpati. Rintikan hujan masih kudapati. Kabut putih masih menyelimuti. Mentari tak kunjung berseri, padahal ini sudah jam 9 pagi. Secangkir teh hangat dan tempe goreng jadi teman sejati. Kepul asap rokok kawan sebelahpun tak kunjung henti. Volume air dipersawahannpun mulai meninggi. Ku dapati dua curug baru di puncak bukit hari ini. Derasnya air memecah sepi.
Kali ini suhunya cukup dingin. Angin yang mengandung uap air tak henti menyapa. Tanganpun menjadi landak karena bulu-bulu halus ini bangun. Kali ini pak Doding yang membuat perapian untuk sejenak menghangatkan badan. Cuap-cuap ala kadarnya untuk mengikatkan tali persaudaraan sembari menunggu informasi apakah hari ini masih bisa evakuasi ataukah tidak.
Sesaat sebelum kami mulai beranjak aktifitas, salah seorang warga mengabarkan ada longsor susulan. Longsor terjadi sebanyak tiga kali. Kebun sereh yang tersisa sekarang sudah habis. Samapai pukul 10.30 WIB ini cuaca masih mendung. Cahaya matahari tak dapat menembus awan putih diatas kami. Hujan memang sudah berhenti karena itu kami membagi tugas untuk bergerak. 3 orang belanja logistic yang masih kurang, 2 orang mencari informasi kebencanaan di kantor desa dan yang lain bersih-bersih tenda yang mirip kapal karam.
Selepas makan siang dengan menu khas padang, kami menjamah zona merah untuk hari ketiga. Sesampainya dimasji At-Taqwa tersengan bau yang tidak mengenakan. Bau busuk yang mulai menyengat dari tanah yang basah. Sayapun bertanya kepada warga kejelasan bau yang rasa hirup. Ternyata disini dipakai untuk memandikan mayat. Mayat yang kemarin ditemukan hanya kepalanya saja sekarang ketemu badannya. Badannya tidak semua utuh kaki sebelah kanannya hilang alias patah. Mayatnya memang sudah membusuk, dan lansung dikebumikan.
Untuk hari ini proses pencarian korban dihentikan sementara karena masih rawan longsor dilokasi kejadian. Korban yang ditemukan hari ini hanya satu. Kami segera menurunkan barang-barang yang ada di bak mobil. Seperti biasa kami mengontak pak RW untuk membantu membawakan bantuan sampai lokasi.
Dititik yang diarasa lumayan aman walaupun masuk dalam zona merah kami membuat tenda. Tenda ini tidak jauh dari rumah pak RW. Disini relative lebih aman. Untuk sementara ada 3 tenda yang dibangun yaitu tenda hangat, tenda pengungsi, dan tenda untuk dapur umum. Beberapa bantuan dari DPU DT dan teman-teman mahasiswa sudah masuk kelokasi yang diangkut bersama mobil DMC DD. Hari ini kami disibukan dengan membangun tenda, membuat penerangan sementara dan mengirimkan bantuan sampai lokasi.
Sampai hari ketiga pasca longsor di daerah ini tidak ada posko yang berdiri kecuali dari DD. Bantuan yang masukpun hanya dari DD dan barntuan-bantuan yang dititipkan di DD. Sangat jauh berbeda dari yang berada di bukit lembang. Bantuan yang masuk sangat minim, padahal disini pengungsi lumayan banyak yaitu ada sekitar 53 orang. Sangat wajar jika banyak warga yang marah kepada pemerintak karena mereka seperti dianak tirikan. “seluruh korban yang ditemukan dimandikan disini, diurusi disini dan dkuburka disini, keluarganyapun mengungi kesini kenapa bantua tidak ada yang masuk kesini” tutur ibu-ibu yang telah memandikan para jenazah ditemukan. Raut muka dengan penuh kekecewaan sangat terbaca jelas.
Team DD baru mendirikan posko di wilayah nagreg ini dikarenakan pihak pemerintah hanya mengijinkan pendirian posko dikordinir dibukit lembang. Mereka mengarahkan untuk disatu titik agar memudahkan dalam kordinasi. Mengingat kebutuhan warga nagrog team DD berinisiatif untuk mendirikan posko kemudian mengkonfirmasi pemerintah terkait. Beberapa TNI juga masuk kewilayah nagrog dan menreka juga menjanjikan akan mendirikan posko. Posko yang dijanjikan hanya dbuat di masjid At-Taqwa, dimana mobil yang hanya bisa berhenti disana.
Sekitar pukul 17.30 team dari kampus peduli membawa bantuan. Bantuan tersebut hanya sampai diposko pertama yaitu dipak Doding. Kami harus segera menyusul ke posko untuk segera menyalurkan bantuan kepada yang berhak dan sekalian menjemput team kampus peduli yang akan ikut bermalam diposko zona merah.
Sesampainya di zona merah, kabut mulai turun serta sepanjang jalan masih tampak gelap gulita. Setitik lentera hanya terpancar diposko zona merah. Layaknya kunang-kunang yang terbang sendiri ditengah hutan. Senter menemani jalan setapak yang terjal sampai peraduan zona merah. Secangkir kopi jadi teman dan kepulan rokok bagi yang doyan. Cerita bak dongeng tercurah dari para relawan yang melepas penat dengan segelintir warga dan pemuda yang tetap terjaga.
Dinginnya suasana tanpa terpaan anginpun cukup mengoyak-ngoyak perasaan yang masih gulana. Kita dititk paling dekat dengan bahaya. Kalaulah ada longsor yang lebih besar akan sangat menyulitkan untuk lari kezona yang lebih aman. Penerangan hanya ada karena jenset. Resahnya hati terpatahkan ketika kelopak mata sudah tak sanggup lagi ditahan tetap terjaga. Sayup-sayup cahaya mulai redup, suara yang ada bagai dongeng malam pengantar tidur. Mulai kurebahkan badan dalam tenda yang berhadapan dengan tenda pengungsi. Pijatan dari tanah yang tak rata menjadi refleksi tersendiri, walaupun lama-lama terasa sakit juga hingga harus mengubah posisi tidur. Harapan sebelum mata benar-benar terpejam adalah untuk malam ini jagalah kami, dan peluklah kami dalam kasih dan rahmat-MU, kami masih ingin berbuat banyak untuk sodara-sodaraku yang selalu menyerukan nama-MU. Tak terasa pipiku sedikit basah, mala mini rasanya sangat dekat denga-MU. Terimakasih tlah KAU beri pelajaran yang tak terkira selama ini. Surat Al-Iklas yang tak lepas hingga mata benar-benar terpejam.

0 komentar:

 
;