Jumat, 05 April 2013

Islam Kontemporer

Tulisan ini memandang bahwa periode Islam kontemporer dimulai sejak paruh kedua abad ke-20, yaitu sejak berakhirnya Perang Dunia II sampai sekarang. Periode Islam kontemporer ini ditandai oleh dua peristiwa utama. Pertama, dekolonisasi negara-negara Muslim dari cengkraman kolonialisme Eropa. Kedua, gelombang migrasi Muslim ke negara-negara Barat. Dua peristiwa itu telah mengubah lanskap geografi dunia Muslim. Apa yang disebut dunia Muslim tidak lagi identik dengan dunia Arab, tetapi meliputi berbagai negara nasional yang tersebar di hampir seluruh penjuru dunia, merentang dari mulai Afrika Utara hingga Asia Tenggara. Selain itu, sejak itu pula kaum Muslim telah menjadi bagian dari demografi negara-negara Barat.
Akan tetapi, pada dekade-dekade awal pasca Perang Dunia II, Islam belum menjadi subjek penting dalam politik global. Isu utama pada masa itu adalah Perang Dingin antara Blok Barat yang dipimpin Amerika Serikat dengan jargon liberalismenya dan Blok Timur yang dipimpin oleh Uni Soviet dengan jargon komunismenya. Pertarungan ideologi antara kedua blok tersebut menjadi latar belakang hampir semua peristiwa politik ekonomi internasional. Dalam hal ini, posisi negara-negara Non-Blok, di mana Indonesia dan beberapa negara Muslim lain termasuk di dalamnya, cukup terjepit dan dalam kenyataannya hanya menjadi objek rebutan pengaruh negara-negara adidaya.
Dekolonisasi negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim dari cengkraman kolonialisme Eropa telah menghadapkan Islam dan kaum Muslim pada suatu realitas baru, yaitu negara-bangsa modern. Persis pada titik ini, klaim-klaim keagamaan Islam yang universal mau tak mau harus bekerja pada ranah partikular. Negara-bangsa modern secara normatif selalu mengandaikan adanya ikatan kewarganegaraan yang terbatas. Hubungan antara warga negara atau individu dan negara diikat oleh suatu komitmen yang sampai tingkat tertentu bersifat sekuler. Negara-bangsa modern mentransendensikan warganya dari tempurung identitas-identitas etnik, agama, dan jenis-jenis komunalisme lainnya ke dalam wadah besar bernama bangsa. Proses transendensi tersebut tidak pernah mudah, bahkan di banyak tempat terjadi kekerasan yang berdarah-darah. Salah satu penyebabnya adalah watak dari negara-bangsa modern itu sendiri yang—dalam perspektif Weber—diberi legitimasi untuk menggunakan kekerasan demi keutuhan teritorialnya.
Dalam konteks negara-bangsa modern, Islam adalah satu dari sekian banyak ideologi politik yang bertarung memperebutkan tempat dan pengaruh dalam formasi negara dan struktur pemerintahan. Dengan kata lain, Islam dalam politik berubah dari identitas sakral menjadi identitas profan. Oleh karena itu, keberadaan partai Islam tidak otomatis mendapatkan dukungan penuh dari kaum Muslim. Kepedulian utama dalam politik negara-bangsa modern adalah pengelolaan ruang publik yang sekuler, bukan kepasrahan terhadap Tuhan. Kaum Muslim terlibat dalam berbagai partai politik dan gerakan sosial dengan ideologi beragam: liberal, sosialis, hingga komunis. Partai-partai Islam di negara-negara Muslim justru tidak mendapat suara signifikan. Di Indonesia, pada Pemilihan Umum 1955, partai-partai Islam seperti Masyumi dan Nahdlatul Ulama harus berbagi tempat dengan partai nasionalis dan komunis. Di Turki, yang terjadi adalah sebaliknya. Setelah puluhan tahun dikuasai oleh rezim pemerintahan sekuler dengan latar belakang ideologi Kemalis yang kuat, Adalet ve Kalkmma Partisi (AKP) yang bercorak Islamis sejak 2002 memenangkan pemilihan umum dan memimpin pemerintahan (Hadiz, 2011)
Sementara sebagian Muslim bergiat dalam berbagai aktivitas di tanah airnya masing-masing, sebagian yang lain justru berimigrasi ke negara-negara Barat untuk mencari kehidupan yang lebih baik (Anna Triandafllidou, Tariq Modood, dan Ricard Zapata-Barrero, 2006). Latar belakangnya, baik apa yang disebut faktor pendorong maupun penarik dalam teori migrasi klasik, umumnya adalah ekonomi. Pada masa itu, negara-negara Eropa Barat seperti Jerman dan Belanda baru saja bangkit dari puing-puing kehancuran dalam Perang Dunia II. Namun dalam waktu singkat negara-negara tersebut bangkit kembali dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang mengagumkan. Pabrik-pabrik baru dibangun, pabrik-pabrik lama direnovasi. Untuk mengisi lowongan pekerjaan pada pabrik-pabrik itu, didatangkanlah ribuan kaum pekerja. Sebagian besar mereka berasal dari negara-negara Muslim, seperti Turki dan Maroko. Di Inggris dan Perancis, sebagian besar kaum migran juga berasal dari negara-negara Muslim bekas koloni mereka; orang-orang Aljazair di Perancis, orang-orang India dan Pakistan di Inggris. Dalam perkembangannya, para pekerja migran yang umumnya laki-laki tersebut membawa serta keluarga mereka. Populasi kaum Muslim di di negara-negara Barat tersebut meningkat jumlahnya hingga sekarang.
Selanjutnya, setelah Uni Soviet runtuh pada 1989, yang diikuti oleh ‘gelombang demokratisasi ketiga’ di negara-negara satelitnya, percaturan global mengalami perubahan sangat signifikan, termasuk dalam isu Islam. Sebelumnya, tepatnya pada 1979, sebuah revolusi yang dipimpin para Khomaini berhasil menumbangkan rezim Syah yang sekuler di Iran. Peristiwa yang dikenal dengan Revolusi Islam Iran tersebut membawa implikasi penting baik terhadap dunia Islam secara internal maupun terhadap konsetelasi politik internasional. Secara internal, revolusi tersebut mengeraskan rivalitas klasik antara Sunni-Syiah. Arab Saudi, dengan karakter Wahabisme yang keras, semakin tampil sebagai penjaga ortodoksi Sunni penjaga kota suci Haramain (Makkah dan Madinah). Persaingan antara Arab Saudi dan Iran dalam memperebutkan pengaruh di dunia Islam tak terhindarkan. Pada saat yang sama, Amerika Serikat masuk ke dalam peta persaingan baru tersebut dengan membawa kepentingan ideologi dan politik ekonominya sendiri. Di tempat lain, yaitu di Afghanistan, berakhirnya Perang Dingin mengakibatkan apa yang oleh beberapa pengamat Barat disebut ‘globalisasi Jihad’. Para eksponen mujahidin yang sebelumnya bertempur melawan invasi Uni Soviet akhirnya membubarkan diri. Sebagian mereka berasal dari negara-negara Muslim di Asia Tenggara, seperti Indonesia dan Malaysia. Setelah Perang selesai, mereka pulang kampung, tetapi dari sini lahirkan satu jaringan Islamisme berskala global. Keberadaan mereka tentu saja menambah kompleksitas
Tragedi 11 Septermber 2001 adalah peristiwa yang secara dramatik membuka babak baru hubungan Islam dan Barat. Bagi kalangan neo-konservatif yang berdiri di belakang pemerintahan Bush Jr. di Amerika Serikat, peristiwa itu seolah menjustifikasi pandangan mereka bahwa Islam memang tidak kompatibel dengan nilai-nilai Barat. Sejak peristiwa itulah Islam menjadi subjek penting dalam politik global. Sementara itu, di negara-negara Muslim, demokratisasi semakin menjadi kata kunci dalam politik, sehingga bahkan pemerintahan paling otoriter sekalipun mengaku sebagai negara demokratik. Pada akhir 1990-an, rezim Orde Baru di bawah pimpinan Jenderal Soeharto di Indonesia jatuh dari kekuasaanyan, mengantarkan Indonesia tampil sebagai negara demokratik Muslim terbesar di dunia. Yang paling mencengangkan dan masih berlangsung sampai sekarang, dengan korban jiwa sudah mencapai ribuan orang, adalah gelombang reformasi di negara-negara Arab. Setelah tumbangnya Husni Mubarak dari kursi kepresidenan di Mesir, tuntutan perubahan politik menerjang hampir semua rezim pemerintahan di Timur Tengah. Bahkan, negara paling konservatif seperti Arab Saudi pun mencoba membuka diri terhadap tuntutan serupa. Singkatnya, dunia Islam kontemporer adalah bagian dari dunia yang sedang berubah dengan sangat cepat, melibatkan tidak hanya aspek meterial tetapi juga ideologi.

0 komentar:

 
;