Selasa, 16 April 2013

Kelana Perahu Layar

Tiga tahun yang lalu aku larung kapal layar mengarungi samudra kehidupan. Tanpa sebuah bahan bakar dan hanya bermodalkan layar putih yang berharap dapat berkembang. Tanpa tombol dan kemudi otomatis. Kompas penunjuk arah yang mulai menua. Keakuratannya tak seperti dulu kala. Beberapa perbekalan yang cukup untuk bersandar di dermaga yang bernama CINTA.

Kapal layar ini sudah ditengah samudra. Langit tak begitu cerah. Awan hitam mengepul sempurna. Kilat petir bagai cambuk yang datang silih berganti. Suara gemuruhpun saling bersahutan menyatu dengan alunan ombak yang kian kasar. Tekanan udara yang tak menentu membuat perahu layar ini terombang ambing. Penunjuk arah, kompas yang kubawa telah mati dan bintang pun kini mulai tertutupi. Sekarang kudapati gelombang besar yang tiada terkira. Mengoyak perahu yang sederhana. Membelah layar dan mematahkan tiang pancangnya. Gelombang kian tinggi. Menghantam, dan mengempas tubuh perahu layar ini. Semuanya luluh lantah. Dindingnya pun mulai retak. Air laut yang pekat beranjak memenuhi yang rang sempit dan gelap.

Tak kutahu sampai kapan akan berahir badai ini. Langit kan kunjung terang lagi. Ombak kan jinak seperti merpati. Bintang bersemarak menghiasi. Kerinduan pada dermaga. Kerinduan pada sang surya. Kerinduan yang kian mendera. 

Kalau ini sudah mereda, kucoba rajut kembali layar yang telah tercerai berai. Mengokohkan kembali tiang yang patah. Menguatkan kembali diding perahu yang remuk. Akan kusebarangi sampai keplosok negeri. Aku ingin Kau temani.


12.

0 komentar:

 
;