Senin, 29 Juli 2013

STRATEGI MEMBANGUN PEMERINTAH YANG JUJUR DAN ADIL

 
Kursi pemerintahan adalah kursi panas bagi siapa saja yang mendudukinya. Kursi yang memegang peranan penting dalam segala aspek maka tidak jarang banyak yang mengincar kursi ini untuk segala kepentingan dan ambisi dari setiap kalangan yang akan berkiprah nantinya.
Bukan hal yang asing lagi jika sebuak kursi untuk jabtan strategis diperlakukan layaknya orang berbisnis. Untuk dapat menduduki kursi tersebut setiap individu maupun kelompok akan mengeluarkan dan yang tidak sedikit seperti halnya data data yang di temukan oleh ICW.
Berdasar perhitungan ICW terhadap laporan dana kampanye delapan partai besar, terdapat selisih jumlah pengeluaran dana kampanye yang cukup mencengangkan. Partai Golkar misalnya, laporan belanja iklan mereka secara resmi kepada KAP hanya Rp 142 miliar. Akan tetapi, dari perhitungan ICW terhadap iklan Golkar di televisi berdasar data AGB Nielsen, setidaknya pengeluaran belanja iklan televisi Golkar mencapai Rp 277 miliar. Itu berarti, terdapat selisih Rp 135 miliar yang sangat mungkin tidak dilaporkan Golkar sebagai pengeluaran.
Laporan pengeluaran dana kampanye partai besar lain, seperti PDI Perjuangan dan PPP, juga termasuk yang mencurigakan. PDI Perjuangan sebagai contoh hanya melaporkan Rp 7 miliar untuk belanja iklan. Akan tetapi, dari data AGB Nielsen, total pengeluaran belanja iklan televisi PDI Perjuangan mencapai Rp 102 miliar. Dengan demikian, selisih laporan resmi dengan estimasi perhitungan ICW mencapai Rp 95 miliar.
Satu partai lagi yang mencolok adalah PPP karena selisihnya Rp 36,4 miliar. Laporan pengeluaran resmi mereka kepada KAP hanya Rp 3,6 miliar, namun total pengeluaran berdasar estimasi ICW mencapai Rp 40 miliar. Partai selanjutnya yang juga terindikasi bermasalah dalam laporan pengeluaran dana kampanye adalah PKS, Partai Hanura, dan PAN meskipun dengan selisih yang lebih kecil.
Wajar saja jika banyak terjadi praktek korupsi dikalangan anggota dewan, untuk mendapatkan kursinya saja sudah susah butuh dana dan waktu yang tidak sedikit. Bualan dan omong kosong serta janji-janji palsu turut serta menyemarakan kegiatan perebutan kursi ini.  Layaknya melelang sebuah lukisan tua yang mempunyai nilai seni yang tinggi. Yang berani menawar dengan harga tinggi dialah yang akan mendapatkannya.
Praktik-praktik korupsi ini menimbulkan dampak sosial dan ekonomi yang sangat luas. Proses pembangunan tidak berjalan dengan semestinya karena uang yang seharusnya untuk kesejahteraan masyarakat malah masuk ke kantong-kantong pribadi. Apalagi di saat negara tengah menghadapi persoalan berat, seperti pengangguran, kemiskinan, dan berbagai bencana alam. Praktik korupsi dipastikan akan semakin menambah beban negara dan rakyat.
Untuk menghilangkan praktek korupsi, tentunya dibutuhkan seorang pemimpin yang layak dan aturan hukum yang sangat jelas, tegas, keras, berat, dan mengikat, tanpa menoleransi usaha penyuapan terhadap hukum yang berlaku. Seyogyanya pula perangkat (aturan) hukum tersebut tidak hanya menjadi wacana saja, tetapi juga diamalkan (dilaksanakan) sebagai realisasi.
Dari hasil polling online yang dilakuakan oleh QB Leadership Center di LeadershipQB.com didapatkan data bahwa karakter seorang pemimpin yang ideal adalah seagai berikut : (a) Jujur dan bersih dari korupsi, serta membangun sistem yang mencegah korupsi. (b) Punya integritas, tegas, dan berani mengambil sikap. (c) Visoner: Punya visi jangka panjang dan mengambil langkah untuk merealisasikannya.
Dalam hal ini ada baiknya jika pemerintah mengambil contoh sistem hukum negara lain dalam menghukum para koruptor yang kelak dapat menghancurkan bangsa ini. Ada baiknya pula jika pemerintah menindaklanjuti praktek korupsi yang merajalela di dalam negara dengan mempelajari penanggulangan kasus-kasus korupsi yang merebak di negara-negara lain yang juga tergolong negara korup, atau negara bebas korupsi. Dengan sendirinya, pemerintah akan lancar dalam merumuskan strategi pembasmian praktek korupsi di Indonesia setelah mendapat masukan dari cara-cara negara lain dalam mengatasi kasus korupsi. Contohnya adalah seperti yang telah dijabarkan oleh Bapak Kwik Kian Gie dalam buku “PEMBERANTASAN KORUPSI: Untuk Meraih Kemandirian, Kemakmuran, Kesejahteraan dan Keadilan” edisi II, yakni dengan menerapkan konsep Carrot and Stick di Indonesia yang telah dilakukan beberapa negara, seperti Singapura atau Republik Rakyat Cina, dan dapat dinilai telah berhasil.
Dalam penjabarannya yang lumayan panjang-lebar namun jelas tersebut, Bapak Kwik Kian Gie menawarkan solusi pemberantasan korupsi di Indonesia dengan menerapkan konsep Carrot and Stick, yang mana arti Carrot dan Stick tersebut adalah sebagai berikut.
Konsep Carrot adalah memberikan pendapatan bersih kepada pegawai negeri yang mencukupi menurut standar sesuai pendidikan, pengetahuan, tanggung jawab, kepemimpinan, pangkat, dan martabatnya (jika perlu dengan tingkat yang tinggi), sehingga orang yang mencari ‘keuntungan lain’ dengan korupsi cenderung enggan, karena telah terpenuhi dengan pendapatan tingginya tersebut.
Kemudian konsep Stick (secara harfiah berarti pentung atau tongkat) diterapkan jika Carrot telah terpenuhi semua, namun yang mendapatkan masih berani melakukan korupsi. Hukuman ini bersifat amat sangat berat, karena tingkat korupsi sudah sangat tinggi dan merajalela dimana-mana.
Salah satu hukuman yang setimpal bagi para koruptor yang telah menyengsarakan rakyat banyak adalah hukuman yang bersifat amat keras, sangat berat, bahkan menurut aturan agama, seperti: hukuman penjara seumur hidup atau hukuman mati. Namun, sebagai bangsa yang berbudi luhur, ada baiknya jika para koruptor yang tingkat korupsinya masih bisa dikatakan sangat rendah diberikan sekali kesempatan untuk memohon pengampunan atas tindakannya, tetapi dengan catatan: segala harta, benda, atau uang yang telah dikorup dikembalikan kepada yang berwewenang seluruhnya alias seratus persen.
Kemudian, jika setelah permohonan ampun diterima dengan pengembalian harta, benda, atau uang yang telah dikorup kepada pihak yang sebenarnya, koruptor tersebut masih berani melakukan korupsi, maka tidak ada kesempatan kedua dan koruptor tersebut harus langsung dijatuhi sanksi atau hukuman seberat-beratnya setimpal dengan praktek korupsi yang telah dilakukannya. Bahkan, agar lebih tegas dan keras, sebaiknya kemungkinan pelaku korupsi tersebut melakukan ‘korupsi ketiga’ ditiadakan dan tentunya hal itu direalisasikan dengan hukuman mati tanpa toleransi.
Dengan hukuman seperti itu, kita harapkan para koruptor menjadi enggan untuk berbuat korup lagi dikarenakan melihat ‘teman-temannya’ mendapat ‘hadiah’ dan praktek korupsi dapat segera berkurang secara berangsur-angsur.

0 komentar:

 
;